Friday, July 10, 2009

Persipura & Balada Sepakbola Indonesia

Tim Mutiara Hitam: Juara yang sedang Tersandung Masalah

Hari ini, Jum'at tanggal 10 Juli Komdis PSSI memanggil beberapa pemain & pengurus Persipura terkait keputusan WO tim bersangkutan pada pertandingan final Copa Dji Sam Soe Indonesia 2009 (CDSSI 2009), 27 Juni silam. Seperti diketahui, dalam duel vs Sriwijaya FC waktu itu, Persipura melakukan WO karena merasa diperlakukan tidak adil oleh wasit.

Hadir di kantor PSSI pelatih Jacksen F. Tiago serta Walikota Jayapura yang juga adalah Ketua Umum Persipura M.R. Kambu ditemani kapten Edward Ivakdalam beserta wakilnya Jack Komboy, asisten pelatih Metu Duaramury serta manajer tim Rudi Maswi . Tujuan pemanggilan tersebut adalah untuk mencari tahu siapa yang mendalangi tim Mutiara Hitam melakukan WO. Tidak main-main, PSSI mencap oknum tersebut sebagai anti-fair-play. Selalu, sepakbola Indonesia lebih menarik untuk hal-hal seperti ini ketimbang permainannya.

Siapa sih yang Anti-fair-play?

Waktu itu tanggal 08 Juni 2008, ketika CDSSI 2009 sudah memasuki babak perempatfinal, Badan Liga Indonesia (BLI) melalui suratnya No. 0662/a/04/bli-31/v/2009 menunjuk Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring sebagai venue penghelat final pengganti Stadion Utama GBK. Sekilas tidak ada yang salah dari penunjukkan ini. Tapi melihat mayoritas masyarakat sepakbola Indonesia yang masih mudah terbakar emosinya hanya karena kontroversi sepentol korek, BLI seharusnya melakukan eksaminasi berulang dan riset mendalam sebelum mengeluarkan keputusan. Jujur saja, publik sudah merasa ganjil akan penunjukkan Jakabaring ini, sedang sang empunya stadion, Sriwijaya FC, masih bertahan di kompetisi bersama dengan tim-tim seperti Persibo Bojonegoro, Persitara Jakarta Utara, Persijap Jepara, PSMS Medan, Persipura Jayapura, Persija Jakarta, dan Deltras Sidoarjo.

Oke, pasti berlaku standar-standar tertentu untuk menilai apakah suatu stadion berikut infrastruktur & suprastruktur yang menyertainya layak atau tidak untuk menggelar partai final, Tp, apakah tidak ada stadion yang benar-benar netral/berada di region yang berbeda dengan tim-tim yang masih bertahan di kompetisi sehingga prinsip fair-play lebih terepresentasi?

Sebutlah stadion Palaran yang berada di kota Samarinda. Oleh www.worlstadiums.com, stadion bertaraf Internasional yang dipakai ketika Kalimantan Timur menghelat PON XVII tersebut menempati urutan 2 daftar stadion terbaik & terbesar di Indonesia. Jadi, untuk kualitas stadion Palaran memenuhi kualifikasi untuk menggelar final CDSSI 2009.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah netralitas wilayah. Dari 8 tim kontestan perempat final CDSSI 2009 tidak ada yang berasal dari kota Samarinda, bahkan Kalimantan Timur. Letak pulau Kalimantan juga berada di tengah-tengah sehingga lebih adil bagi para suporter yang akan mendukung langsung bila tim kebanggaannya melangkah ke final.

Kalau akhirnya BLI berdalih bahwa stadion Palaran sudah didaulat menjadi tempat final Divisi Utama LI 2009 sehingga harus ada 'pemerataan' pun Kalimantan masih memiliki banyak stadion lain yang kualitasnya masih masuk dalam standar venue sebuah final. Stadion Kudunga di kota Tenggarong salah satunya. Tapi untuk 'kejadian tak terencana' seperti pemindahan venue final ini, isu 'pemerataan' seharusnya bisa diabaikan. Wewujudkan fair-play seideal mungkin jauh lebih penting. Bila komitmen fair-play tidak diterapkan sejak awal, definisi di fase-fase selanjutnya akan bias. Kalau makna serta batasannya saja tidak jelas, bagaimana bisa menentukan seseorang itu pro-fair-play atau anti-fair-play?

Stadion Palaran kebanggaan Samarinda. Terbesar di Indonesia setelah GBK

Ketidakpuasan Berkulminasi WO


Musim ini Persipura tampil ciamik untuk ukuran sepakbola nasional. Edward Ivakdalam memimpin rekan-rekannya mendominasi hampir di setiap pertandingan kandang maupun tandang. Tak heran, saat kompetisi belum berakhir, gelar juara ISL 2008/2009 sudah ada digenggaman.

Tim Mutiara Hitam sepertinya akan mengulang prestasi hebat Sriwijaya FC yang musim lalu sukses menyandingkan gelar liga dengan trofi copa. Skenarionya pun tampak akan berakhir dramatis dengan merebut langsung trofi dari Laskar Wong Kito, setelah di liga mereka juga memastikan gelar setelah menekuk sang juara bertahan di stadion Mandala.

Apa lacur, skenario tinggal skenario. Sebuah insiden menjelang genap sejam pertandingan ketika kiper Sriwijaya FC Ferry Rotinsulu menabrak dari belakang gelandang Persipura Ian Kabes dalam kotak penalti dibiarkan Purwanto, wasit final itu. Play on..bola kemudian bergulir ke arah Ernest Jeremiah yang spontan membalikkan arahnya ke dalam gawang lawan dengan sepakan terukur. Dasar nasib, Purwanto lagi-lagi menolak meniup peluit tanda terjadi pelanggaran ketika bola tendangan Ernest tadi urung masuk gawang karena terhalang tangan bek tim rival, Joel Tsimi. Kali ini, bintang-bintang Papua tidak terima. Ramai-ramai mereka menyerbu wasit dan mengerubutinya. Tak mampu mengendalikan emosi, Ernest pun menanduk Purwanto. Wasit asal Kediri itu kemudian langsung mengeluarkan kartu merah untuk pemain asal Nigeria. Tak ayal, kejadian tersebut memicu para pemain Persipura lainnya untuk meninggalkan lapangan dan menolak kembali bertanding bila kartu merah tersebut tidak dicabut dan memberikan hadiah penalti bagi mereka. Beberapa tokoh sudah coba membujuk. Tapi mau bilang apa, ajakan Ketua PSSI Nurdin Halid hingga permintaan Gubernur Papua Barnabas Suebu gagal mencairkan hati Solossa Brothers and The Gank yang sudah membatu.

Saya tidak melihat peristiwa tersebut sebagai kebodohan atas dasar solidaritas buta semata, itu adalah titik puncak dari kesabaran yang ada batasnya. Banyak orang di luar sana masih dengan sinis menyoroti masalah mental putra-putra tanah Cendrawasih. "Sukses sedikit mabuk-mabukan, sukses sedikit main perempuan, bagaimana mau maju...???!" begitu sindir mereka.

Ahh...saya justru punya pendapat berbeda. Kasus ini justru menjadi bukti kebesaran hati Ricardo Salampessy, cs. Mereka sangat menjunjung tinggi sportivitas. Dengan gagah berani mereka menyambangi kandang macan untuk merebut gelar langsung dari tangan Sang Juara Bertahan. Meski banyak suara sumbang menyuarakan ketidakadilan, mereka terus jalan. Meski banyak argumen mengindikasikan kecurangan yang terencana rapi, mereka tuli. Bagi mereka sepakbola adalah hidup, titik.

Prinsip itulah yang selama ini secara natural menempa pesepakbola-pesepakbola Papua. Sepakbola adalah tentang harga diri. Maka, ketika kerja keras di lapangan dilecehkan oleh sebuah konspirasi, jangan salahkan kalau kemudian mereka menentukan langkah sendiri. Mereka tahu peraturan. Perjalanan karir sepakbola mereka tidak melulu latihan taktik, teknik, dan fisik. Tapi, diatas lapangan, tidak ada yang mengenal peraturan sebaik para pemain itu sendiri. Mereka punya insting yang tercipta secara kimiawi melalui proses yang berulang-ulang untuk menentukan mana yang seharusnya gol dan yang tidak gol, mana yang hand-ball dan tidak hand-ball, mana yang pelanggaran dan bukan pelanggaran, juga mana yang merupakan kesengajaan atau kealpaan.

Copa Dji Sam Soe-poli?


Lalu, benarkah ada sebuah konspirasi? Kalau kasus suap dunia sepakbola di Italia mendapat sebutan Calciopoli, maka jika benar ada skandal pengaturan pertandingan (hasil kompetisi) Copa Dji Sam Soe Indonesia, apa dong namanya? Copa Dji Sam Soe-poli? Hahaha...membahas hal ini lebih menarik ketimbang meneruskan argumen benar tidaknya tindakan Persipura mengingat sudah adanya hukum positif dalam dunia sepakbola yang tidak membenarkan sebuah tim untuk walk-out (WO). Jika nekad WO, mereka harus tahu konsekwensinya, dan Persipura sudah menyatakan siap untuk bertanggung-jawab dengan datang memenuhi panggilan Komisi Disiplin tadi sore. Salut!

Kembali ke Copa Dji Sam Soe-poli (CDSS-poli).

Kalau masalah penunjukkan venue pengganti saya melihat kurangnya pertimbangan netralitas, di partai final itu sendiri saya justru tidak melihat sesuatu yang konspiratif yang bisa dikritisi lebih lanjut. Wasit yang biasanya dijadikan alat bagi para konspirator untuk menentukan pemenang, dalam pertandingan ini justru menjadi anti-thesis.

Purwanto sang pengadil adalah wasit papan atas di negeri ini. Sudah mendapatkan lisensi C1 sejak 1993, kapasitas dan kredibilitas lelaki yang pernah menjadi asisten wasit FIFA pada 1995 itu tentu tidak diragukan lagi. Sebelum memimpin partai final CDSSI 2009, Purwanto berpengalaman memimpin berbagai partai penentuan lainnya, seperti final Liga Indonesia musim 2007 (Sriwijaya FC Vs PSMS Medan) final LI 2005 (Persija FC Vs Persipura FC), dan final LI 2002 (Persita FC Vs Pertrokimia Putra Gresik).

Pria jangkung berkumis tipis itu adalah juga peraih penghargaan Bintang Adi Manggalya Krida dari Pemerintah berkat jasanya di bidang olahraga, khususnya dunia perwasitan. Penghargaan yang membuatnya kini sejajar dengan para pelaku olahraga terbaik di Indonesia. Di antaranya ada Markis Kido dan Hendra Setiawan (bintang Parama Krida Utama Kelas I), atau para pelatih terbaik Indonesia seperti Sigit Pamungkas dan Marlev Mainaky (Bulutangkis), Eni Nuraini Martodihardjo (atletik), Fictor Gideon Roring (basket), dan Wahyudi Hidayat (balap sepeda) yang semuanya juga mendapatkan bintang Adimanggalya Krida. Dari profesi wasit sendiri, Pergunan Tarigan (angkat besi), Sardjito dan Sumartojo (atletik), serta Dra Linda Darnela (senam) adalah nama-nama yang juga mendapatkan bintang dan penghargaan serupa dengan Purwanto.

Jadi, sangat tidak beralasan bila kita menuduh PSSI/BLI melakukan kekejian seperti itu. Sebelum kita baca kesaksian dari Ario Yosia tentunya. Dalam sebuah wawancara, kolumnis www.bolanews.com tersebut mengaku pernah dicurhati begini oleh Purwanto: "Jujur saja, Mas, saya ingin berhenti. Saya sudah tua." Secara objektif Ario juga menilai fisik Purwanto sebenarnya sudah tak layak lagi memimpin laga sekelas final Copa. Beberapa tahun silam saat meliput acara penyegaran wasit PSSI di Bandung, Ario menyaksikan sendiri bagaimana sang pengadil gagal melakoni tes fisik. Dia sinyalir, Purwanto tetap dipaksa bertugas demi pencitraan korps wasit Indonesia. Purwanto menjadi korban ketidakmampuan PSSI mencetak wasit-wasit berkualitas yang integritasnya dipercaya klub-klub kontestan, tulisnya di: http://www.bolanews.com/edisi-cetak/nasional6.htm.

Kondisi itu juga diamini oleh ketua Badan Wasit Sepakbola Seluruh Indonesia (BWSI), Bernard Limbong di Jakarta kepada kapanlagi.com pada 2 Juli 2009. "Purwanto adalah wasit terbaik Indonesia saat ini. Dan partai final Copa Indonesia 2008/09 itu adalah partai terakhir yang dia pimpin, karena usianya sudah melewati masa wajib sebagai wasit. Ia bekerja dengan maksimal. Tidak ada yang salah dengan Purwanto," jelas Limbong.

Membatasi usia seseorang untuk melakukan suatu tugas tertentu tentu dengan pertimbangan agar orang itu dalam bertugas optimal. Kalau dengan sengaja menugaskan seseorang yang usianya sudah melewati ambang batas dan orang tersebut secara tersurat sudah menyatakan keinginannya untuk berhenti, adakah tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh PSSI secara terselubung??! Hmm....entahlah! Paling tidak, kasus ini pasti turut menjadi pertimbangan bagi Reuters untuk menilai kondisi sepakbola Indonesia di musim yang baru saja berlalu sebagai 'a shambolic season' atau musim yang kacau-balau! Tidak percaya? Kunjungi saja: http://football.uk.reuters.com/world/news/SP536092.php

Wasit Purwanto. Partai Perpisahan nan Kontroversial.

No comments:

Post a Comment